Tugas ke-1 Etika Bisnis, dosen: Rina Sugiarti
Nama : Fariz Gibran
Kelas : 3EA21
NPM : 1A213866
ETIKA BISNIS DALAM DUNIA INTERNASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan, sedangkan etika bertindak sebagai rambu-rambu yang membatasi kelakuan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis penuh moral nantinya mampu untuk mengembangkan etika yang menjamin kegiatan bisnis menjadi seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai pembatas dalam kelompok masyarakat nantinya mampu untuk membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis dunia internasional sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok terkait lainnya.
Dengan fasilitas transportasi dan komunikasi yang kita miliki sekarang, bisnis internasional semakin bertambah penting. Berulang kali dapat kita dengar bahwa kita hidup dalam era globalisasi ekonomi sekarang: kegiatan ekonomi yang mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar”. Sebagaimana yang kita mengerti dan rasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomi. Globalisasi ekonomi akan memberikan efek positif maupun negatif.
Salah satu efek positifnya adalah memberikan aspek etis yang baru. Tidaklah heran jika tahun-tahun terakhir ini kita diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek tersebut dalam bisnis internasional.
Bila kita mencoba mengartikannya, etika bisnis bisa sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat, karena bukan hukum. Oleh karenanya, dalam praktik bisnis sehari-hari, etika bisnis dapat menjadi pembatas bagi aktivitas yang dijalankan. Keberadaan usaha pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sisi itulah etika bisnis terasa sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari bermacam elemen lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
- Norma-norma Moral Yang Umum Pada Taraf Internasional
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika adalah relatif atau tidaknya norma-norma moral. Saya berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma-norma moral itu diperlukan. Namun bukan berarti norma-norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak. Masalah teoritis yang kompleks ini kembali pada taraf praktis dalam etika bisnis internasional. Apa yang harus kita lakukan jika norma di negara lain berbeda dengan norma yang dianut negara kita sendiri? Richard De George membicarakan 3 jawaban atas pertanyaan tersebut. Ada 3 pandangan mengenai masalah tersebut:
- Menyesuaikan Diri
Sikap ini tepat sekali ditunjukkan oleh peribahasa “Kalau di Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang Roma”. Yang artinya, perusahaan harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di negara lain. Peribahasa tersebut kurang lebih sama dengan “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung”.
Norma-norma moral yang penting kurang lebih berlaku sama di seluruh dunia. Namun, norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat. Itulah arti dari pandangan ini. Misalnya, norma sopan santun tidaklah sama di semua tempat. Bisa jadi di satu tempat dianggap sopan dan di tempat lain dianggap tidak, sendawa atau menyeruput ketika makan mie contohnya.
- Regorisme Moral
Pandangan ini memilih arah terbalik, karena ingin mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan yang cabangnya di luar negeri, hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma etis memang kebanyakan bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut regorisme moral kurang memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
- Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Kita hanya harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan). Akan tetapi selain itu, kita tidak perlu terikat pada norma-norma moral. Justru jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia akan berada dalam posisi yang merugikan karena daya saingnya terganggu.
Kasus : Bisnis dengan Afrika Selatan yang Rasis
Dua dari pandangan di atas terbukti tidak dapat dipertahankan argumennya. Kecuali dalam pandangan “menyesuaikan diri”, di mana kita dapat menghargai pentingnya berada dalam situasi lain. Pandangan pertama memaksudkan bahwa situasi yang berbeda memang mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan, tetapi tidak sampai menyingkirkan sifat umum dari norma moral. Pandangan kedua, regorisme moral, terlalu ekstrem dalam menolak pengaruh situasi. Walaupun ada benarnya dengan poin bahwa kita tidak meninggalkan norma moral di rumah dalam bisnis kita di luar negeri.
Dalam etika jarang prinsip-prinsip moral mampu diterapkan dengan mutlak, karena kondisi yang sering kali kompleks. Hal ini dapat dilihat pada bisnis internasional dengan Afrika Selatan yang mempunyai sistem politik didasarkan diskriminasi ras (Apartheid), bahkan sistem Apartheid ini didasarkan atas Undang-undang Afrika Selatan sejak 1948.
Kebijakan Apartheid Afrika Selatan menimbulkan kesulitan moral untuk perusahaan asing yang mengadakan bisnis di Afrika Selatan karena mereka wajib mengikuti sistem Apartheid. Dalam mencari jalan keluar dari dilema ini banyak perusahaan Barat memegang pada The Sullivan Principles yang dirumuskan dan dipraktekkan oleh Leon Sullivan. Prinsip-prinsip Sullivan :
- Leon Sullivan sebagai General Motors tidak akan menerapkan undang-undang Apartheid.
- Menghapus undang-undang Apartheid.
- Masalah “Dumping” dalam Bisnis Internasional
Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional adalah dumping produk, karena praktik kurang etis ini secara khusus berlangsung dalam hubungan dengan negara lain. Dumping di sini adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain, dengan harga di bawah harga pasar dan terkadang malah di bawah biaya produksi. Dapat dimengerti bahwa yang merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Para konsumen justru merasa beruntung karena dapat membeli produk dengan harga murah. Sedangkan para produsen menderita kerugian, karena tidak sanggup bersaing dengan menawarkan produk semurah itu
- Aspek etis dari Korporasi Multinasional
Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi multinasional, yang juga disebut korporasi transnasional. Yang dimaksudkan dengannya adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi, perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang memilki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda. Biasanya perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh warga negara setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN ini untuk pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an dan mengalami perkembangan pesat. Contoh KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony,Unilever yang memiliki kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan manusia.
Di bawah ini akan dibahas usulan De George tentang norma-norma etis yang terpenting bagi KMN.
- Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan tindakan yang tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara lain, biarpun tidak dengan sengaja atau langsung. Menurut keadilan kompensatoris mereka wajib memberi ganti rugi.
2.Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi.
Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat negatif, bisnis pun tidak tekecuali. Norma kedua ini menuntut secara menyeluruh akibat baik melebihi akibat buruknya. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif. Tapi lebih ke memerintahkan sesuatu yang positif untuk ditegasakan lagi, bahwa yang positif harus melebihi yang negatif.
- Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada pembangunan negara dimana dia beroperasi.
KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang. KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
- Korporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara berkembang.
- Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menantangnya.
Jika mereka tidak menghormati kebudayaan setempat, KMN akan merugikan negara dimana mereka beroperasi. KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai budaya setempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
- Korporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”
Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang telah ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh perusahaan-perusahaan internasional.
- Perusahaan multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkn dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat
Yang dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.
- Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh pemilik mayoritas saham.
- Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
Yang membangun pabrik-pabrik berisiko tinggi juga harus merundingkan prosedur-prosedur keamanan bagi mereka yang akan menjalankan pabrik tersebut. KMN bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina secara sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
- Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara yang belum berpengalaman.
Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi stempat, sehingga terjamin keamanan optimal.
Sepuluh norma tersebut bisa bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral bagi kegiatan- kegiatan KMN
- Masalah Korupsi Dalam Taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional.
Skandal Suap Leockheed
Lockheed adalah produsen pesawat terbang Amerika Serikat yang melakukan suap ke berbagai negara dengan tujuan agar produknya dapat dipasarkan. Kemudian terbukalah kasus ini dan dimuat diberbagai media massa yang menimbulkan reaksi cukup hebat.
Lockheed merasa keberatan dengan Undang-undang anti suap di Amerika. Terdapat dua keberatan yang sering ditemukan yaitu :
- Undang-undang ini mempraktikkan semacam imprealisme etis.
- Undang-undang ini merugikan bisnis Amerika, karena melemahkan daya saingnya.
Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika?
Ada beberapa alasan mengapa mengetahui pemakaian uang suap bertentangan dengan etika.
- Praktik suap melanggar etika pasar. Denagan adanya praktik suap, daya pasar dilumpuhkan dan para pesaing yang sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan.
- Bahwa orang yang tidak berhak, mendapat imbalan juga.
- Banyak kasus lain di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Pembagian barang langka dengan menempuh praktik suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yng tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak tidak kebagian.
- Praktik suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukkan uang suap itu seperti mestinya.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam dunia bisnis yang semakin mengglobal ini, norma moral dan etika bisnis tetap diperlukan, walaupun bukan hukum yang absolut. Sebab akan membantu dalam kelancaran bisnis itu sendiri.
Di masing-masing negara, tergantung norma dan etika setempat, pengusaha harus mampu menempatkan perusahaan mereka sesuai dengan tempatnya. Demikian pula etika yang berlaku di masing-masing tempat tersebut.